Search This Blog

Monday, June 24, 2019

Resensi Buku Negara dan Korupsi


Resensi Buku Negara dan Korupsi (Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik) Karya Mansyur Semma (Alm.)

Judul Buku      : Negara dan Korupsi (Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik)
Penulis             : Mansyur Semma
Penerbit Buku : Yayasan Obor Indonesia
Tebal Buku      : xli + 367 hlm
Ukuran Buku  : 15,5 x 23 Cm
Tahun Terbit    : 2008

Bila kita menonton televisi, mendengarkan radio, atau membaca media-media online yang telah berseliweran di mana-mana, maka isu korupsi akan selalu menghiasi setiap sudut-sudut pemberitaan media tersebut. Maklum, sejak berdirinya KPK pada 2002, isu korupsi semakin banyak terungkap dan diungkap; semakin hari semakin santer pemberitaan korupsi menyita pembaca dan pemirsa media. Terakhir, penangkapan Kepala Lapas Sukamiskin dan terbongkarnya bisnis penjara nyaman di sana menyita perhatian dan menghina publik yang berusaha memberantas korupsi.
Seakan tak ada habisnya, korupsi menjadi bagian dari perjalanan sejarah kehidupan negara- bangsa yang sudah berumur hampir 73 tahun tersebut. Korupsi, sebagaimana dialihbahasakan dalam bahasa Indonesia, adalah pembusukan dari dalam. Ibarat virus, sekali terjangkit tidak akan hilang, bahkan hingga inangnya mati! Apakah Indonesia akan mati karena korupsi? Saya tidak bisa membayangkan dan tak mau membayangkan!
Pemberantasan korupsi menjadi usaha yang intens dalam usaha membangun kembali bangsa Indonesia setelah runtuhnya Orde Baru yang penuh dengan otoritarianisme dan ujug tanduk perpecahan di ujung hidup rezim. Korupsi menjadi usaha penebusan dosa karena telah absennya selama puluhan tahun ia dibiarkan begitu saja menggerogoti tubuh bangsa ini. Lalu usaha apakah yang harus kita jalankan dalam memberantas korupsi?
Mansyur Semma (alm.), seorang akademisi Universitas Hasanuddin, menawarkan satu analisis pemikiran, sikap dan tindakna dari seorang tokoh pers sekaliber Mochtar Lubis. Baginya, Mochtar Lubis merupakan role-model tokoh yang gigih dalam pemberantasan korupsi dan mempertahankan idealismenya terhadap suatu negara dan berkomitmen terhadap demokrasi, anti terhadap mental feodalisme dan ‘go to hell with totalitarianism’.
“… Isi buku ini hendak mengungkapkan secara mendalam ketokohan, wacana kekuasaan dan kebudayaan yang berada di balik pandangan negara dan korupsi (dari perspektif) Mochtar Lubis.” (hlm. xxi)
Usaha Mochtar Lubis terlihat dari tindakannya selaku seorang jurnalis (yang juga pemimpin redaksi harian Indonesia Raya), kritik sosial budaya yang ia lancarkan dan pendekatan sastra yang banyak menilainya terlalu blak-blakan dan tanpa tedeng aling-aling. Bagi Semma, pemikiran Mochtar Lubis banyak membedah sisi gelap budaya politik dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Korupsi, baginya, adalah suatu budaya politik yang membekas karena budaya feodalisme yang masih bertahan. Inilah yang menjadi fokus Mochtar Lubis, merekonstruksi Indonesia dalam melaksanakan Pancasila dengan cerminan demokrasi dan humanisme.
Mochtar dan Akar Kehidupannya
Mochtar Lubis dikenal sebagai seorang jurnalis yang memiliki sudut pemikiran yang multi-perspektif. Meski begitu, yang menjadi corak utamanya dalam setiap pengutaraan pemikirannya adalah bersifat kritis dan selalu berbicara tentang demokrasi dan humanisme. Mochtar, dalam berbagai tulisannya banyak mengkritisi praktek-praktek kenegaraan dua rezim yang dinilainya begitu korup, tidak demokratis dan merendahkan nilai-nilai kemanusiaan. Baginya, praktek kenegaraan telah melenceng dari khittah cita-cita berdirinya Negara Republik Indonesia.
“Negara yang diidealkan oleh Mochtar Lubis adalah sebuah pemerintahan yang mengagungkan demokrasi, di mana rakyat sepenuhnya menjadi penguasa tertinggi.” (hlm. 211-212)
Di dalam banyak tulisannya, corak Mochtar yang demokratis dan humanis banyak terlihat, terutama bagaimana ia mengkritik corak budaya dan kebiasaan (bahkan psikologis) orang-orang Indonesia di dalam tulisannya berjudul ‘Manusia Indonesia’. Hal ini menandakan bahwa corak kemanusiaan Indonesia agaknya perlu adanya rekontruksi yang membuatnya sesuai dengan perkembangan zaman.
Namun, pencarian terhadap Manusia Indonesia yang tidak bercorak demokratis dan humanis tersebut memiliki akar sejarah yang berkaitan dengan kehidupan Mochtar selama perjalanan hidupnya. Mochtar Lubis lahir dari keluarga priyayi dan terpandang di dalam sukunya (Batak-Mandailing). Ayahnya yang seorang demang di Sumatera Barat, Mochtar memiliki kedudukan dan kondisi pendidikan yang lebih baik: di HIS, ia banyak berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Barat melalui karya-karya sastra (hal yang membuatnya memiliki wawasan sastra yang baik); dan setelah lulus ia dimasukkan ke sekolah bercorak nasionalis, Indonesisch Nationaal School (INS) Kayu Tanam. Di INS inilah, Mochtar banyak berjumpa dan bergulat dengan berbagai pemikiran-pemikiran Barat dan berkenalan dengan pergerakan nasionalisme Indonesia.
“Di Kayu Tanam, Mochtar menjadi anggota kepanduan dan gerakan nasionalis Indonesia Muda yang dengan bangga menyanyikan lagu Indonesia Raya dan berkeliling daerah membawa bendera merah putih. Di Sekolah Ekonomi (INS Kayu Tanam), Mochtar Lubis belajar strategi perencanaan masa depan,matematika, bahasa, ekonomi dan politik. Ia mengembangkan pemikiran dan minatnya dalam ilmu politik dengan membaca banyak buku karya pemikira dan filosof politik seperti Adam Smith dan Karl Marx.” (hlm. 144)
Pergulatannya dengan berbagai pemikiran politik begitu besar dan dinamis. Semma menuturkan dalam bukunya tersebut bahwa Mochtar sebenarnya sangat begitu tertarik dengan pemikiran-pemikiran Marxisme karena memang, pada saat itu, kedudukan Indonesia dalam lingkup negara kolonial Belanda dalam posisi subordinasi atau terkekang rantai ‘negara induk’. Sayangnya, banyak berbagai pihak yang menentang minat pemikirannya terhadap Marx karena membahayakan posisi dirinya maupun keluarganya kelak.
Meski pemikiran Marx dalam tataran praktis cenderung ekstrem (dan tercermin dalam pemberontakan PKI 1926-1927 yang membekas), namun setiap pemikirannya mencerminkan kekritisan seperti yang termuat dalam berbagai pemikir Marxian. Kelak, pemikiran Mochtar terhadap Negara merupakan corak yang khas Marxian, yaitu menempatkan negara sebagai suatu entitas yang paradoks di mana di dalamnya terdapat pertarungan kelas.
Perjalanan hidupnya semasa pendidikan telah membentuk pribadi seorang Mochtar menjadi seorang yang begitu kritis dan berpendirian teguh. Semma mengutarakan pendidikan yag ia tempuh telah menempa diri seorang Mochtar Lubis memiliki keteguhan diri yang mendasarkan pada nilai-nilai demokrasi dan humanisme. Pendidikan Barat dan budaya tegasnya telah membuka hidupnya menjadi seorang yang selalu diwaspadai lawannya (terutama dua rezim pemerintah berkuasa: Orde Lama dan Orde Baru).
Mochtar Lubis tumbuh dalam lingkungan di mana tradisi mulai terbangun dari nilai dan perilaku hidup Barat. Mochtar Lubis akrab dengan etos individualisme, rasional, dan spirit kerja keras untuk mengembangkan diri. Pendidikannya dalam pengetahuan Barat dan pemikiran politik terbangun dari nilai-nilai ini dan menjadi prakondisi sikapnya terhadap demokrasi, nasionalisme, dan pertumbuhan kemajuan ekonomi.” (hlm. 144)
Pers, Budaya dan Kontrol Politik
Pendirian dan idealisme demokratis Mochtar membawanya pada karir sebagai sebagai seorang wartawan kritis yang tidak pandang bulu terhadap siapapun. Karir yang ia bangun saat Jepang menjadi pengganti Belanda yang hengkang pada Maret 1942, dan Mochtar memiliki akses menjadi seorang wartawan yang mengawasi penyiaran radio untuk kepentingan Jepang. Sambil menyelam minum air, dari sinilah sense awal kewartawanannya mulai terasah.
Baginya, suatu kebenaran dan harkat kemanusiaan harus ditegakkan, dan itulah inti dari keadilan. Dunia pers telah menjadi jalannya dalam ‘berjihad’ membangun bangsanya yang baru saja bebas dari kolonialisme dua hari setelah Konferensi Meja Bundar.
Karirnya sebagai seorang wartawan membawanya menjadi seorang tokoh yang disegani dan selalu diwaspadai oleh orang-orang berkepentingan (khususnya terhadap pihak-pihak yang memiliki relasi kekuasaan dalam dan terhadap pemerintahan). Hal ini terlihat dengan berdirinya Indonesia Raya sebagai ‘empat pilar jurnalisme Indonesia’ pada dekade 1950-an. Tak heran, dekade 1950-an merupakan zaman keemasan kebebasan yang menyuburkan dunia pers dan jurnalistik dalam menyuarakan berbagai permasalahan masyarakat.
Akibat dari sikap kritis tersebut, Mochtar Lubis mendekam di dalam penjara dalam dua rezim berbeda. Pada 1956, ia dipenjara karena dituduh menyebarkan berita kebencian dan makar terhadap pemerintah. Musababnya, ia memberitakan adanya korupsi di dalam Departemen Penerangan dan Roeslan Abdulgani, yang saat itu menjadi Menteri Luar Negeri, menjadi sasaran dari kasus korupsi yang terkuak tersebut. Tak ayal, Roeslan ditangkap saat akan berangkat ke London untuk menghadiri suatu konferensi. Namun, Roeslan akhirnya dibebaskan karena campurtangan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Malah sebaliknya, Mochtar yang terkena getahnya: dipenjara tanpa pengadilan selama 10 tahun.
Di masa Orde Baru, ia mengungkap suatu laporan investigasi yang mengungkap adanya korupsi dalam tubuh Pertamina dengan pelaku mengarah kepada Ibnu Sutowo. Sesuatu yang kelak menjadi kenyataan karena pada 1974, utang jangka pendek Pertamina yang membengkak hingga 1 miliar dolar membuatnya berada di ambang kebangkrutan. Uang yang seharusnya diperuntukkan bagi kepentingan pengembangan Pertamina, justru mengalir ke kantong pribadi Ibnu Sutowo. Skandal besar initelah diendus sejak 1970-an oleh Indonesia Raya dan terbukti empat tahun kemudian.
Kesuksesannya harian Indonesia Raya tidak berlangsung lama. Setelah beroperasi kembali dalam bulan madu sejak 1968, Indonesia Raya akhirnya harus mati karena pembredelan pers bersama dengan dua belas harian pers lainnya setelah kejadian Malari pada 15 Januari 1974. Alasan dari Kopkamtib karena telah merusak wibawa dan kepercayaan kepemimpinan nasional dan bersifat menghasut rakyat. Mochtar sendiri akhirnya harus mendekam kembali dalam penjara hingga 1975.
Peran pers yang telah ia jalankan dan harus dikorbankan dengan pendekaman penjara dan pembredelan merupakan cermin dari sikapnya selama ini yang konsisten terhadap demokrasi, kebebasan, keterbukaan dan kemanusiaan. Dia bukan seorang anti-Pancasila, bahkan ia menegaskan bila Pancasila dilaksanakan, Indonesia akan menjadi surga. Baginya, pelaksanaan Pancasila itu adalah dengan mengamalkan kedaulatan rakyat, dan itulah demokrasi.
Pers memainkan peran yang vital untuk menyampaikan apa yang sedang terjadi kepada rakyat dan menyambungkan lidah rakyat kepada elit pemerintahan. Keterbukaan dan aksesibilitas menjadi misi paling krusial bagi seorang Mochtar. Dari pers-lah ia ingin membongkar dua kondisi dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Dengan membuka keran peran pers lebih besar, baginya, akan meminimalisir perilaku korup dan membongkar dua hal tersebut.
Pertama, mental elit birokrat yang terlalu rutin terhadap kerja kantoran dan tidak mau membuka informasi dan akses komunikasi menjadikannya lingkungan birokrasi-eksekutif menjadi sangat beku dan misterius. Agaknya, akar sejarah pola negara beambtenstaat menjadikan mental elit birokrat tidak jauh dari kebiasaan para elit birokrat kolonial yang lebih merasa tahu segalanya dan rakyat harus dituntun oleh para pegawai birokrat yang berpengetahuan.
Sikap tertutup dan jurang elit dengan rakyat ini yang ingin dipangkas habis-habisan oleh Mochtar. Sehingga birokrasi menjadi dinamis dan selalu memperbarui dirinya. Ombudsman menjadi lembaga yang baik untuk menjadi penampung keluh kesah dan kritik terhadap eksekutif. Agaknya, Mochtar menginginkan adanya revolusi birokrat yang tidak banyak mencampuri urusan rakyat yang memiliki urusan yang kompleks dan mendesaknya untuk fokus pada kerjanya dalam urusan birokrasi semata.
Kedua, kritik kebudayaan yang menyelimuti politik kepemimpinan nasional mengarah kepada dominasi dan hegemoni budaya Jawa. Presiden selaku pemimpin nasional masih diperlakukan sebagai raja dan gubernur jenderal yang setara dan menggantikan kedudukan raja Jawa. Karakteristik yang hirarkis, feodal, sentralistik dan tertutup mendominasi dalam dua kepemimpinan nasional, Soekarno dan Soeharto. Setelah Indonesia Raya dibredel, kekritisan Mochtar semakin menghantam kepada inti kebudayaan, dengan tulisannya berjudul Manusia Indonesia yang banyak mengkritik kebiasaan manusia-manusia Indonesia yang cenderung hipokrit, munafik, pemalas dan feodal.
Singkat kata, kehidupan Mochtar baik masa-masa puncak karir pers dan jurnalistik maupun pasca-pembredelan 1974, kehidupan Mochtar banyak mewarnai kancah suara-suara oposisi dan suara kritis. Baginya, sikap seperti ini yang nantinya akan membawa Indonesia menuju pendewasaan dalam sikap politik, dan tidak ada lagi mental ABS (Asal Bapak Senang), namun ‘Bapak Harus Tahu Sebenarnya’. Kecenderungan korupsi terjadi karena ketertutupan komunikasi dan pemerintah yang feodal dan sentralistik. Inilah yang selalu menjadi sasaran utama Mochtar selama hidupnya: mencegah korupsi mengakar menjadi budaya, suatu kosakata yang kontradiktif antara budi dan kejahatan.
Suara kritiknya terhadap perilaku korupsi pada akhirnya berhenti seiring kesehatannya menurun, ingatannya mulai memudar, dan terbaring di Rumah Sakit, hingga wafatnya pada 2 Juli 2004 di usia 82 tahun.
Penulis Resensi:  Kiagus M. Iqbal

Sunday, June 16, 2019

RESENSI BUKU KORUPSI POLITIK DAN PERSOALANNYA DI NEGARA MODERN

Mengutip pendapat Magnis Suseno, tujuan normatif negara adalah mengusahakan kemajuan untuk
kepentingan semua warga negara. Negara bukan kongsi dagang yang bertujuan mengupayakan keuntungan bagi kongsi itu sendiri. Raison d’etre atau alasan satu-satunya bagi eksistensi negara adalah kepentingan umum. Maka kepentingan umum harus diletakkan lebih utama dari kepentingan pribadi dan ketika kepentingan pribadi yang utama maka sesungguhnya para pemegang kekuasaan telah menyalahgunakan wewenangnya. Sama halnya dengan fenomena korupsi yang telah melanda hampir semua negara di dunia merupakan bentuk peletakan kepentingan pribadi diatas kepentingan umum.
Persoalan-persoalan korupsi selalu mengiringi dinamika kehidupan masyarakat dengan intensitas yang berbeda-beda tiap masanya. Catatan kuno tentang hal tersebut telah berlangsung ribuan tahun yang lalu, dimana korupsi dilakukan oleh pejabat-pejabat negara dalam bentuk suap menyuap, di Mesir, Babylonia, Ibrani, India, Cina,Yunani dan Romawi Kuno merupakan bentuk-bentuk korupsi yang ditemukan pada masa-masa itu. Namun seiring dengan munculnya negara-negara modern dengan sistem pemerintahan dan birokrasi yang baru perbuatan korupsi juga terjadi. Prilaku korupsi terdapat di dalam negara demokrasi, dalam negara diktator militer, disetiap tahap pembangunan dan segala jenis sistem ekonomi, dari negara kapitalis terbuka seperti Amerika Serikat sampai pada ekonomi yang direncanakan secara terpusat seperti yang terdapat di bekas Uni Soviet.
Oleh karena itu korupsi tidak saja ada di negara maju, tetapi juga terdapat di negara-negara berkembang dan negara miskin. Di Negara-negara miskin korupsi menurunkan pertumbuhan ekonomi, menghalangi perkembangan ekonomi, dan mengerogoti keabsahan politik yang selanjutnya memperburuk kemiskinan dan ketidakstabilan politik.
Di negara maju akan menurunkan standar kehidupan dan mengerogoti keabsahan politik, di negara yang sedang mengalami masa transisi dapat mengerogoti dukungan terhadap demokrasi dan sebuah ekonomi pasar. Di negara berkembang akan mengalienasikan kepemimpinan politik dan semakin mempersukar adanya pemerintahan yang efektif. Pendeknya perbuatan korupsi dapat menjatuhkan suatu pemerintahan
Memahami Korupsi Politik
Dalam tulisannya dengan mengutip beberapa sumber penulis buku ini mengatakan bahwa korupsi politik adalah perbuatan yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kedudukan politik baik karena dipilih maupun ditunjuk. Kedudukan politik para pelaku dapat sebagai presiden, kepala pemerintahan, para menteri, anggota parlemen yang seringkali mengunakan fasilitas dan kemudahan politis yang melekat dalam diri mereka. Korupsi politik dapat berbentuk tirani, penghianatan atau subversi, lobbyism, pembelian suara, kecurangan dalam pemilu, patronage dan favoritisme. Selain itu pelaku korupsi politik dapat bersifat individual, kelompok, kroni, keluarga, maupun rezim suatu
pemerintahan.
Penyebab korupsi politik tentu bermacam-macam, dari yang bersifat sistemik hingga yang berisfat perilaku, yang kemudian menyatu dalam kekuasaan yang tanpa kontrol dari hukum, etika dan hati nurani. Seperti yang dijelaskan dalam buku ini bahwa, nafsu politik kekuasaan yang buas, sarana dan prasarana ekonomi yang tidak transparan, kontrol yang lemah, krisis moral para pemimpin, dan penegakan hukum yang lemah dimanfaatkan oleh pemegang kekuasaan politik untuk melakukan tindakan-tidakan korupsi.
Dari sini terlihat bahwa korupsi politik merupakan bentuk pelanggaran terhadap hukum dan etika. Kedua hal ini kemudian tidak mampu menjadi alat kontrol dalam proses-proses politik dan kekuasaan dalam suatu negara modern. Padahal dalam negara moderen kepatuhan terhadap hukum dan etika merupakan nilai moral tertinggi yang dapat memperkuat legitimasi kekuasaan di mata masyarakat.
Hukum dan etika akhirnya digunakan oleh para penguasa untuk melegitimasi kekuasaan mereka bahkan tidak jarang digunakan sebagai instrumen untuk tindakan represif terhadap lawan-lawan politik. Seperti yang ditulis dalam buku ini bahwa intimidasi, ancaman, atau digiring ke penegak hukum merupakan suatu yang sering terjadi pada masa orde baru ketika masyarakat melakukan kontrol kritis terhadap prilaku para penguasa ketika itu sehingga hukum dan etika hanya menjadi simbol yang tidak bermakna.
Dalam konteks Islam penanggulangan korupsi politik telah dilakukan pada jaman Rasulullah, seperti
diriwayatkan Abu Hamis As Sa’idi bahwa Rasulullah pernah memecat Ibnul Attabiyah pejabat pengumpul zakat dari kafillah Bani Sulaiman gara-gara menerima hadiah. Nabi juga melarang seorang pejabat menerima suap maupun hadiah. Di Jaman Kalifah Umar pernah ia memerintahkan Maslamah membagi dua kekayaan pejabat yang tidak wajar. Yang tercatat misalnya Gubernur Bahrain Abu Hurairah, Gubernur Mesir Amru Bin Ash, Gubernur Iraq Nu’man bin Ady, Gubernur Makkah Nafi’ bin Ammar Al Khuzai’i, Gubernur Yaman Ya’la bin Munabbib, Gubernur
Kufah Sa’ad bin Abi Waqqash dan Gubernur Syam Khalid bin Walid. Hal ini dilakukan karena Umar menduga bahwa penguasa berpeluang mendapatkan rejeki di luar kewajaran. Jika tak terbukti melakukan KKN, di akhir masa jabatan harta mantan pejabat itu di bagi dua, separuh diambil negara dan separuh di kembalikan tetapi jika harta itu terbukti di dapat dair KKN seluruh harta di sita negara (h.92-93)
Dampak Korupsi Politik
Praktek-praktek korupsi politik di banyak negara telah menempatkan pemegang kekuasan tertinggi sebagai pelakunya. Pemimpin Uganda Idi Amin; Mobutu Sese Seko dari Konggo; Jean Claude Duvalier dari Haiti; Jean Bodel Bokassa pemimpin Afrika Tengah; Zulfiqar Ali Bhutto pemimpin Pakistan; Augusto Pinochet pemimpin Chilie; Chun Do Hwan pemimpin Korea Selatan. Ini semua adalah gambaran tentang pelaku korupsi politk yang saat berkuasa adalah pemimpin negara tertinggi masing-masing.
Praktek-praktek korupsi para pejabat ini telah mengikis kredibilitas, mendelegitimasi kelangsungan
kehidupan politik pemerintah serta menimbulkan biaya ekonomi dan politik yang sangat tinggi. Penyalahgunaan kekuasaan seperti korupsi politik berimplikasi terhadap menurunnya kredibilitas pemerintahan baik secara nasional maupun internasional yang telah merugikan kehidupan masyarakat.
Hal seperti inilah yang menurut James C. Scott, adalah negara yang salah urus, dimana dalam negara yang salah urus tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan yang merupakan akibat dari maraknya korupsi oleh pejabat negara . Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life (James C.Scott, 1981).
Membaca buku ini kita mendapatkan banyak informasi tentang korupsi politik yang terjadi di dunia
internasional. Namun dibeberapa paragraf terjadi ketidak konsistenan yang dilakukan oleh penulis, salah satunya adalah dengan memasukan tentang pelanggaran berat HAM dalam buku ini, padahal sejak awal buku ini hanya membahas tentang korupsi politik dan tidak ada kaitannya dengan pelanggaran berat HAM. Selain itu ide yang melompat-lompat membuat kesulitan sendiri untuk memahami alur berpikir dari buku ini sehingga di butuhkan ketelitian dalam membacanya. Sebagai satu karya ilmiah yang berasal dari disertasi untuk memperoleh gelar doktor, buku ini mampu memberikan prespektif baru dari beragam soal tentang korupsi yang terjadi di banyak negara.
Resensator: Imran- Staf PUSHAM UII

Saturday, June 8, 2019

Resensi Buku Berkelahi Melawan Korupsi

Siapa yang tidak kenal Bambang Widjojanto (BW baca: BeWe), seorang pendekar antikorupsi yang mewakafkan dirinya dalam hiruk pikuk pemberantasan korupsi di Indonesia bersama Komisi Pemberantasan Korupsi RI (KPK) era tahun 2011-2015. Buku “Berkelahi Melawan Korupsi: Tunaikan Janji, Wakafkan Diri” yang ditulisnya ini menceritakan kisah dan kiprahnya sebagai seorang pendekar antikorupsi yaitu sebagai salah seorang Komisioner di KPK, sebuah lembaga pemberantasan korupsi yang disegani baik kawan maupun lawan.
Sebagai seorang Komisoner, BeWe menyadari bahwa lembaga antikorupsi yang pernah ada di Indonesia mengalami nasib layu sebelum berkembang kalau tidak mau dikatakan sebagai mati muda. BeWe mencatat dalam bukunya, tidak kurang pernah ada 9 lembaga antikorupsi tetapi hanya berumur 3-4 tahun saja. Menurut BeWe, takdir lembaga antikorupsi yang ada di Indonesia diadakan untuk dimatikan, namun KPK adalah anomali atau pengecualiannya. KPK saat ini berusia 13 tahun, hal ini telah mengubah takdir dan menembus batas eksistensi dari lembaga-lembaga anti korupsi yang ada di Indonesia.
KPK untuk saat ini berhasil mempertahankan eksistensinya, KPK menggunakan strategi “melawan sebagai cara bertahan yang efektif”, mungkin itulah mengapa BeWe menggunakan istilah berkelahi melawan korupsi dalam bukunya ini. Apa yang dilakukan BeWe di KPK tidak lain berkelahi dan berkelahi, berkelahi melawan koruptor dalam rangka menunaikan janji dan mewakafkan dirinya pada KPK dalam memberantas korupsi dan mempertahankan eksistensi lembaga, hal-hal itulah yang nantinya dapat pembaca temukan di buku ini. Berkelahi tidak sekedar berkelahi karena binatang juga bisa berkelahi.
Berkelahi ala BeWe dalam bukunya ia sebut sebagai kerja gila, yaitu kerja profesional yang bertanggung jawab, sedapat mungkin zero tolerance dari kesalahan, bukan kerja sembrono dan asal berani, memiliki keikhlasan untuk menghisab dan mengeksploitasi diri serta mewakafkan keberadaannya untuk melakukan pemberantasan korupsi. Menurut BeWe, melalui kerja gila tersebut KPK menjadi lembaga antikorupsi yang telah menembus batas dan mengubah takdirnya yaitu dengan umur panjang dapat mengubah takdir bangsa dari bangsa yang korup menjadi bangsa yang bersih, jujur, berintegritas dan bebas dari korupsi.
Saya pergi untuk pulang. Saya akan kembali walaupun hanya jasad. Perjuangan memberantas korupsi tak boleh berhenti.
- Bambang Widjojanto
Bila kerja gila tidak dimiliki oleh setiap pegiat antikorupsi khususnya pegawai KPK maka visi menembus batas dan mengubah takdir tidak akan tercapai dan bersiaplah mendengar lonceng kematian KPK. BeWe dalam bukunya menampilkan kerja-kerja gila yang dilakukan oleh dirinya dan pegawai KPK lainnya seperti mengorganisir diri dan penggalangan masa dalam rangka melibatkan partisipasi masif secara sadar dan rela berperan aktif dalam upaya pemberantasan korupsi. BeWe berusaha memotivasi, mengubah mindset dan membangun paradigma baru bagi para pegiat anti korupsi bahwa dibutuhkan kerja cerdas dan keikhlasan dalam pemberantasan korupsi. “
Know your enemy!” (kenalilah musuhmu) kalimat itulah yang pernah ditulis oleh Baharudin Lopa seorang pendekar hukum yang sangat anti terhadap korupsi dalam bukunya “Bahaya Komunisme”, disebutkan bahwa komunisme merupakan bahaya laten. Begitu pula halnya di dalam buku BeWe ini, bahaya korupsi merupakan bahaya laten bahkan telah menjadi kejahatan luar biasa yang perlu diperangi sebagai musuh bersama dan lawan abadi. Buku yang ditulis BeWe ini mengajak pembaca untuk mengenali siapa musuh-musuh para pegiat antikorupsi yang pernah menjadi lawan berkelahi BeWe dalam rangka pemberantasan korupsi, ancaman apa yang ditebarkan mereka berikut strategi dan taktik yang mereka miliki.
Peresensi:
Subari Kurniawan Direktorat Penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi