Resensi Buku Negara dan Korupsi (Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik) Karya Mansyur Semma (Alm.)
Judul Buku : Negara dan Korupsi (Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik)
Penulis : Mansyur Semma
Penerbit Buku : Yayasan Obor Indonesia
Tebal Buku : xli + 367 hlm
Ukuran Buku : 15,5 x 23 Cm
Tahun Terbit : 2008
Bila kita menonton televisi, mendengarkan radio, atau membaca
media-media online yang telah berseliweran di mana-mana, maka isu
korupsi akan selalu menghiasi setiap sudut-sudut pemberitaan media
tersebut. Maklum, sejak berdirinya KPK pada 2002, isu korupsi semakin
banyak terungkap dan diungkap; semakin hari semakin santer pemberitaan
korupsi menyita pembaca dan pemirsa media. Terakhir, penangkapan Kepala
Lapas Sukamiskin dan terbongkarnya bisnis penjara nyaman di sana menyita
perhatian dan menghina publik yang berusaha memberantas korupsi.
Seakan tak ada habisnya, korupsi menjadi bagian dari perjalanan
sejarah kehidupan negara- bangsa yang sudah berumur hampir 73 tahun
tersebut. Korupsi, sebagaimana dialihbahasakan dalam bahasa Indonesia,
adalah pembusukan dari dalam. Ibarat virus, sekali terjangkit tidak akan
hilang, bahkan hingga inangnya mati! Apakah Indonesia akan mati karena
korupsi? Saya tidak bisa membayangkan dan tak mau membayangkan!
Pemberantasan korupsi menjadi usaha yang intens dalam usaha membangun
kembali bangsa Indonesia setelah runtuhnya Orde Baru yang penuh dengan
otoritarianisme dan ujug tanduk perpecahan di ujung hidup rezim. Korupsi
menjadi usaha penebusan dosa karena telah absennya selama puluhan tahun
ia dibiarkan begitu saja menggerogoti tubuh bangsa ini. Lalu usaha
apakah yang harus kita jalankan dalam memberantas korupsi?
Mansyur Semma (alm.), seorang akademisi Universitas Hasanuddin,
menawarkan satu analisis pemikiran, sikap dan tindakna dari seorang
tokoh pers sekaliber Mochtar Lubis. Baginya, Mochtar Lubis merupakan
role-model tokoh yang gigih dalam pemberantasan korupsi dan
mempertahankan idealismenya terhadap suatu negara dan berkomitmen
terhadap demokrasi, anti terhadap mental feodalisme dan ‘
go to hell with totalitarianism’.
“… Isi buku ini hendak mengungkapkan secara mendalam
ketokohan, wacana kekuasaan dan kebudayaan yang berada di balik
pandangan negara dan korupsi (dari perspektif) Mochtar Lubis.” (hlm. xxi)
Usaha Mochtar Lubis terlihat dari tindakannya selaku seorang jurnalis
(yang juga pemimpin redaksi harian Indonesia Raya), kritik sosial
budaya yang ia lancarkan dan pendekatan sastra yang banyak menilainya
terlalu blak-blakan dan tanpa tedeng aling-aling. Bagi Semma, pemikiran
Mochtar Lubis banyak membedah sisi gelap budaya politik dalam kehidupan
bernegara di Indonesia. Korupsi, baginya, adalah suatu budaya politik
yang membekas karena budaya feodalisme yang masih bertahan. Inilah yang
menjadi fokus Mochtar Lubis, merekonstruksi Indonesia dalam melaksanakan
Pancasila dengan cerminan demokrasi dan humanisme.
Mochtar dan Akar Kehidupannya
Mochtar Lubis dikenal sebagai seorang jurnalis yang memiliki sudut
pemikiran yang multi-perspektif. Meski begitu, yang menjadi corak
utamanya dalam setiap pengutaraan pemikirannya adalah bersifat kritis
dan selalu berbicara tentang demokrasi dan humanisme. Mochtar, dalam
berbagai tulisannya banyak mengkritisi praktek-praktek kenegaraan dua
rezim yang dinilainya begitu korup, tidak demokratis dan merendahkan
nilai-nilai kemanusiaan. Baginya, praktek kenegaraan telah melenceng
dari
khittah cita-cita berdirinya Negara Republik Indonesia.
“Negara yang diidealkan oleh Mochtar Lubis adalah
sebuah pemerintahan yang mengagungkan demokrasi, di mana rakyat
sepenuhnya menjadi penguasa tertinggi.” (hlm. 211-212)
Di dalam banyak tulisannya, corak Mochtar yang demokratis dan humanis
banyak terlihat, terutama bagaimana ia mengkritik corak budaya dan
kebiasaan (bahkan psikologis) orang-orang Indonesia di dalam tulisannya
berjudul ‘Manusia Indonesia’. Hal ini menandakan bahwa corak kemanusiaan
Indonesia agaknya perlu adanya rekontruksi yang membuatnya sesuai
dengan perkembangan zaman.
Namun, pencarian terhadap Manusia Indonesia yang tidak bercorak
demokratis dan humanis tersebut memiliki akar sejarah yang berkaitan
dengan kehidupan Mochtar selama perjalanan hidupnya. Mochtar Lubis lahir
dari keluarga priyayi dan terpandang di dalam sukunya
(Batak-Mandailing). Ayahnya yang seorang demang di Sumatera Barat,
Mochtar memiliki kedudukan dan kondisi pendidikan yang lebih baik: di
HIS, ia banyak berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Barat melalui
karya-karya sastra (hal yang membuatnya memiliki wawasan sastra yang
baik); dan setelah lulus ia dimasukkan ke sekolah bercorak nasionalis,
Indonesisch Nationaal School
(INS) Kayu Tanam. Di INS inilah, Mochtar banyak berjumpa dan bergulat
dengan berbagai pemikiran-pemikiran Barat dan berkenalan dengan
pergerakan nasionalisme Indonesia.
“Di Kayu Tanam, Mochtar menjadi anggota kepanduan dan
gerakan nasionalis Indonesia Muda yang dengan bangga menyanyikan lagu
Indonesia Raya dan berkeliling daerah membawa bendera merah putih. Di
Sekolah Ekonomi (INS Kayu Tanam), Mochtar Lubis belajar strategi
perencanaan masa depan,matematika, bahasa, ekonomi dan politik. Ia
mengembangkan pemikiran dan minatnya dalam ilmu politik dengan membaca
banyak buku karya pemikira dan filosof politik seperti Adam Smith dan
Karl Marx.” (hlm. 144)
Pergulatannya dengan berbagai pemikiran politik begitu besar dan
dinamis. Semma menuturkan dalam bukunya tersebut bahwa Mochtar
sebenarnya sangat begitu tertarik dengan pemikiran-pemikiran Marxisme
karena memang, pada saat itu, kedudukan Indonesia dalam lingkup negara
kolonial Belanda dalam posisi subordinasi atau terkekang rantai ‘negara
induk’. Sayangnya, banyak berbagai pihak yang menentang minat
pemikirannya terhadap Marx karena membahayakan posisi dirinya maupun
keluarganya kelak.
Meski pemikiran Marx dalam tataran praktis cenderung ekstrem (dan
tercermin dalam pemberontakan PKI 1926-1927 yang membekas), namun setiap
pemikirannya mencerminkan kekritisan seperti yang termuat dalam
berbagai pemikir Marxian. Kelak, pemikiran Mochtar terhadap Negara
merupakan corak yang khas Marxian, yaitu menempatkan negara sebagai
suatu entitas yang paradoks di mana di dalamnya terdapat pertarungan
kelas.
Perjalanan hidupnya semasa pendidikan telah membentuk pribadi seorang
Mochtar menjadi seorang yang begitu kritis dan berpendirian teguh.
Semma mengutarakan pendidikan yag ia tempuh telah menempa diri seorang
Mochtar Lubis memiliki keteguhan diri yang mendasarkan pada nilai-nilai
demokrasi dan humanisme. Pendidikan Barat dan budaya tegasnya telah
membuka hidupnya menjadi seorang yang selalu diwaspadai lawannya
(terutama dua rezim pemerintah berkuasa: Orde Lama dan Orde Baru).
“Mochtar Lubis tumbuh dalam lingkungan di mana
tradisi mulai terbangun dari nilai dan perilaku hidup Barat. Mochtar
Lubis akrab dengan etos individualisme, rasional, dan spirit kerja keras
untuk mengembangkan diri. Pendidikannya dalam pengetahuan Barat dan
pemikiran politik terbangun dari nilai-nilai ini dan menjadi prakondisi
sikapnya terhadap demokrasi, nasionalisme, dan pertumbuhan kemajuan
ekonomi.” (hlm. 144)
Pers, Budaya dan Kontrol Politik
Pendirian dan idealisme demokratis Mochtar membawanya pada karir
sebagai sebagai seorang wartawan kritis yang tidak pandang bulu terhadap
siapapun. Karir yang ia bangun saat Jepang menjadi pengganti Belanda
yang hengkang pada Maret 1942, dan Mochtar memiliki akses menjadi
seorang wartawan yang mengawasi penyiaran radio untuk kepentingan
Jepang. Sambil menyelam minum air, dari sinilah
sense awal kewartawanannya mulai terasah.
Baginya, suatu kebenaran dan harkat kemanusiaan harus ditegakkan, dan
itulah inti dari keadilan. Dunia pers telah menjadi jalannya dalam
‘berjihad’ membangun bangsanya yang baru saja bebas dari kolonialisme
dua hari setelah Konferensi Meja Bundar.
Karirnya sebagai seorang wartawan membawanya menjadi seorang tokoh
yang disegani dan selalu diwaspadai oleh orang-orang berkepentingan
(khususnya terhadap pihak-pihak yang memiliki relasi kekuasaan dalam dan
terhadap pemerintahan). Hal ini terlihat dengan berdirinya Indonesia
Raya sebagai ‘empat pilar jurnalisme Indonesia’ pada dekade 1950-an. Tak
heran, dekade 1950-an merupakan zaman keemasan kebebasan yang
menyuburkan dunia pers dan jurnalistik dalam menyuarakan berbagai
permasalahan masyarakat.
Akibat dari sikap kritis tersebut, Mochtar Lubis mendekam di dalam
penjara dalam dua rezim berbeda. Pada 1956, ia dipenjara karena dituduh
menyebarkan berita kebencian dan makar terhadap pemerintah. Musababnya,
ia memberitakan adanya korupsi di dalam Departemen Penerangan dan
Roeslan Abdulgani, yang saat itu menjadi Menteri Luar Negeri, menjadi
sasaran dari kasus korupsi yang terkuak tersebut. Tak ayal, Roeslan
ditangkap saat akan berangkat ke London untuk menghadiri suatu
konferensi. Namun, Roeslan akhirnya dibebaskan karena campurtangan
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Malah sebaliknya, Mochtar yang
terkena getahnya: dipenjara tanpa pengadilan selama 10 tahun.
Di masa Orde Baru, ia mengungkap suatu laporan investigasi yang
mengungkap adanya korupsi dalam tubuh Pertamina dengan pelaku mengarah
kepada Ibnu Sutowo. Sesuatu yang kelak menjadi kenyataan karena pada
1974, utang jangka pendek Pertamina yang membengkak hingga 1 miliar
dolar membuatnya berada di ambang kebangkrutan. Uang yang seharusnya
diperuntukkan bagi kepentingan pengembangan Pertamina, justru mengalir
ke kantong pribadi Ibnu Sutowo. Skandal besar initelah diendus sejak
1970-an oleh Indonesia Raya dan terbukti empat tahun kemudian.
Kesuksesannya harian Indonesia Raya tidak berlangsung lama. Setelah
beroperasi kembali dalam bulan madu sejak 1968, Indonesia Raya akhirnya
harus mati karena pembredelan pers bersama dengan dua belas harian pers
lainnya setelah kejadian Malari pada 15 Januari 1974. Alasan dari
Kopkamtib karena telah merusak wibawa dan kepercayaan kepemimpinan
nasional dan bersifat menghasut rakyat. Mochtar sendiri akhirnya harus
mendekam kembali dalam penjara hingga 1975.
Peran pers yang telah ia jalankan dan harus dikorbankan dengan
pendekaman penjara dan pembredelan merupakan cermin dari sikapnya selama
ini yang konsisten terhadap demokrasi, kebebasan, keterbukaan dan
kemanusiaan. Dia bukan seorang anti-Pancasila, bahkan ia menegaskan bila
Pancasila dilaksanakan, Indonesia akan menjadi surga. Baginya,
pelaksanaan Pancasila itu adalah dengan mengamalkan kedaulatan rakyat,
dan itulah demokrasi.
Pers memainkan peran yang vital untuk menyampaikan apa yang sedang
terjadi kepada rakyat dan menyambungkan lidah rakyat kepada elit
pemerintahan. Keterbukaan dan aksesibilitas menjadi misi paling krusial
bagi seorang Mochtar. Dari pers-lah ia ingin membongkar dua kondisi
dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Dengan membuka keran peran pers
lebih besar, baginya, akan meminimalisir perilaku korup dan membongkar
dua hal tersebut.
Pertama, mental elit birokrat yang terlalu rutin terhadap kerja
kantoran dan tidak mau membuka informasi dan akses komunikasi
menjadikannya lingkungan birokrasi-eksekutif menjadi sangat beku dan
misterius. Agaknya, akar sejarah pola negara
beambtenstaat
menjadikan mental elit birokrat tidak jauh dari kebiasaan para elit
birokrat kolonial yang lebih merasa tahu segalanya dan rakyat harus
dituntun oleh para pegawai birokrat yang berpengetahuan.
Sikap tertutup dan jurang elit dengan rakyat ini yang ingin dipangkas
habis-habisan oleh Mochtar. Sehingga birokrasi menjadi dinamis dan
selalu memperbarui dirinya. Ombudsman menjadi lembaga yang baik untuk
menjadi penampung keluh kesah dan kritik terhadap eksekutif. Agaknya,
Mochtar menginginkan adanya revolusi birokrat yang tidak banyak
mencampuri urusan rakyat yang memiliki urusan yang kompleks dan
mendesaknya untuk fokus pada kerjanya dalam urusan birokrasi semata.
Kedua, kritik kebudayaan yang menyelimuti politik kepemimpinan
nasional mengarah kepada dominasi dan hegemoni budaya Jawa. Presiden
selaku pemimpin nasional masih diperlakukan sebagai raja dan gubernur
jenderal yang setara dan menggantikan kedudukan raja Jawa. Karakteristik
yang hirarkis, feodal, sentralistik dan tertutup mendominasi dalam dua
kepemimpinan nasional, Soekarno dan Soeharto. Setelah Indonesia Raya
dibredel, kekritisan Mochtar semakin menghantam kepada inti kebudayaan,
dengan tulisannya berjudul Manusia Indonesia yang banyak mengkritik
kebiasaan manusia-manusia Indonesia yang cenderung hipokrit, munafik,
pemalas dan feodal.
Singkat kata, kehidupan Mochtar baik masa-masa puncak karir pers dan
jurnalistik maupun pasca-pembredelan 1974, kehidupan Mochtar banyak
mewarnai kancah suara-suara oposisi dan suara kritis. Baginya, sikap
seperti ini yang nantinya akan membawa Indonesia menuju pendewasaan
dalam sikap politik, dan tidak ada lagi mental ABS (
Asal Bapak Senang), namun ‘
Bapak Harus Tahu Sebenarnya’.
Kecenderungan korupsi terjadi karena ketertutupan komunikasi dan
pemerintah yang feodal dan sentralistik. Inilah yang selalu menjadi
sasaran utama Mochtar selama hidupnya: mencegah korupsi mengakar menjadi
budaya, suatu kosakata yang kontradiktif antara budi dan kejahatan.
Suara kritiknya terhadap perilaku korupsi pada akhirnya berhenti
seiring kesehatannya menurun, ingatannya mulai memudar, dan terbaring di
Rumah Sakit, hingga wafatnya pada 2 Juli 2004 di usia 82 tahun.
Penulis Resensi: Kiagus M. Iqbal