Search This Blog

Tuesday, May 7, 2019

Buku Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia

Korupsi menjadi isu abadi, isu yang selalu menghantui Tanah Air. Bahkan, sejak zaman Diponegoro (1785-1855) Masalah korupsi juga menjadi pemicu utama Perang Jawa (1825-1830) meskipun tak pernah sekalipun dibahas dalam buku-buku sejarah di sekolah. Selama hampir 200 tahun sejak Pangeran Diponegoro menampar patih di hadapan para kerabat sultan di Keraton Yogyakarta, isu korupsi dan bagaimana cara menghadapinya sampai dengan saat ini tidak banyak mengalami perubahan.
Arus uang yang melimpah oleh kedatangan penyewa tanah dari Eropa setelah Agustus 1816 di Pulau Jawa—berbarengan dengan berakhirnya kekuasaan Raffles (1811-1816) dan Hindia Timur dikembalikan kepada Belanda—membuka jalan bagi para pejabat pribumi bertindak korup. Korupsi terjadi saat Indonesia tumbuh menjadi bangsa, mengalami jatuh bangun, dan masih ada sampai sekarang.
Buku ini membawa kita menilik kembali kompleksitas korupsi dengan mengurai budaya korupsi di Indonesia dari zaman Daendels (1808-1811) sampai dengan masa reformasi.Buku ini juga memberi perbandingan sejarah aktivitas korupsi dan cara pencegahannya di negeri-negeri Eropa, terutama Inggris selama abad ke-18 ‘yang panjang’ (1660-1830). Melalui buku ini, sejarawan Peter Carey bersama mantan wartawan Suhardiyoto Haryadi membuktikan betapa seriusnya persoalan korupsi mengancam nasib hidup bangsa dan negara. Sebab korupsi di berbagai negara mengakibatkan hal yang sama yaitu menghancurkan sendi-sendi sebuah bangsa.

Sunday, May 5, 2019

Teror terhadap KPK

Teror terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi berupa serangan balik para koruptor terhadap KPK semakin gencar terjadi. Serangan balik ke KPK beraneka ragam, mulai dari penyerangan dengan menggunakan air keras terhadap Novel Baswedan hingga penyerangan terhadap rumah para Komisoner KPK. Serangan balik terhadap KPK juga dapat berwujud serangan terhadap fungsi lembaga KPK itu sendiri.
Tujuan serangan balik para maling uang rakyat tersebut tentu jelas adalah untuk menakut-nakuti pimpinan dan pegawai KPK agar tidak melakukan aksi pemberantasan korupsi sebagaimana mestinya. Sejatinya, aksi kekerasan terhadap KPK merupakan sebuah bentuk perlawanan para koruptor terhadap negara, yang diwakili oleh institusi KPK.
Para koruptor yang melakukan serangan balik ke KPK, dalam bentuk apapun, pada dasarnya telah melanggar Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal ini, mereka telah dengan sengaja, mencegah, menghalang-halangi atau hendak menggagalkan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara korupsi. Perbuatan mereka telah menyebabkan terjadinya obstruction of justice dalam pengusutan kasus-kasus korupsi.
Transparency International Indonesia (2018) mendeskripsikan jenis-jenis pelemahan terhadap Badan Anti Korupsi di berbagai negara sebagai berikut:
HONGKONG
Pada tahun 1977 Independent Commission Against Corruption (ICAC), komisi anti korupsi di Hongkong,didemo oleh ribuan polisi setelah berhasil menangkap 247 tersangka korupsi dengan 143 orang di antaranya adalah polisi. ICAC adalah sebuah lembaga antikorupsi independen yang didirikan pada tahun 1974. Undang-undang Dasar Hong Kong menetapkan bahwa ICAC akan berfungsi secara independen dan bertanggung jawab langsung kepada Ketua Eksekutif Hong Kong. Sebelum pengalihan kedaulatan pada tahun 1997, ICAC melaporkan langsung ke Gubernur Hong Kong, dan penunjukan ke ICAC juga dilakukan langsung oleh kantornya. Setelah Peraturan Kolonial digantikan oleh Orde Layanan Publik setelah alih kuasa kedaulatan Hong Kong ke Cina pada tahun 1997.
KOREA SELATAN
Tahun 2008, Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak, yang berlatar belakang pengusaha, membubarkan Korea Independent Commission Against Corruption (KICAC). KICAC dianggap mengganggu hubungan pemerintah dan pengusaha. Komisioner KICAC, Kim Geo-sung, pun menjadi tersangka. KICAC sendiri didirikan pada tahun 2002 dan mempunyai kewenangan penuh dalam pencegahan dan penegakan hukum antikorupsi. Sebagai gantinya dibentuklah Anti-corruption and Civil Rights Commision (ACRC) yang merupakan gabungan antara KICAC, Ombudsman, dan Komisi Banding Administratif. Fungsi ACRC terbatas seputar perbaikan sistem pelayanan publik, serta hanya melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi dan administrasi.
MALAYSIA
Di Malaysia, pada tahun 2015, Najib Razak diduga terlibat dalam skandal 1MDB. Dari dugaan tersebut Najib melakukan sejumlah tindakan yang mengancam eksistensi pemberantasan korupsi di Malaysia. MACC menyelidiki temuan dan laporan terhadap skandal 1MDB. MACC adalah Malaysian Anti Corruption Commission yang didirikan pada tahun 2009 menggantikan Badan Pencegah Rasuah. PM Najib lantas melakukan tindakan kontraproduktif terhadap beberapa lembaga negara, termasuk MACC. Tindakan tersebut misalnya adalah pemecatan Jaksa Umum Abdul Gani Patail, pemimpin satuan tugas multilembaga yang menyelidiki klaim penyelewengan dana yang melibatkan Najib dan 1MDB. Mantan Pimpinan MACC, Shukri Abdull, juga mengalami teror dan intimidasi saat mengusut skandal 1MDB.
THAILAND
Di Thailand, Undang-Undang Anti-Korupsi diumumkan pada 1975 dan mengizinkan pembentukan Office of the Commission of Counter Corruption (OCCC), pada praktiknya, OCCC diberi sedikit kekuasaan untuk memerangi korupsi. Hingga pada tahun 2008 dibentuklah NACC, National on Anti Corruption Commission. NACC berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penuntutan aksus korupsi, termasuk didalamnya adalah pencegahan korupsi. Pada tahun 2017, Thailand merilis Undang-undang baru yang mengatur NACC menetapkan bahwa lembaga tersebut hanya boleh mempublikasikan ringkasan daftar aset dan kewajiban pemegang jabatan politik, termasuk anggota Kabinet dan hakim Mahkamah Konstitusi.
Praktek ini telah diperkecil dari undang-undang sebelumnya, yang menuntut NACC diperbolehkan mengumum kandaftar secara lengkap kepada publik dan juga media sehingga mereka juga dapat berpartisipasi dalam mengawasi pemerintah mereka. Dan sebagai catatan, sejumlah politisi telah diteliti oleh publik melalui cara ini. Politisi veteran mendiang Maj-General Sanan Kachornprasart adalah salah satunya. Dia dikeluarkan dari jabatan menteri dalam negeri dan dilarang politik selama lima tahun karena membuat deklarasi aset palsu.
AFGHANISTAN
Untuk memerangi korupsi di Pakistan, Pemerintah Presiden Mohammad Ashraf Ghani membentuk Anti-Corruption Criminal Justice Centre Afghanistan (ACJC) pada 30 Juni 2016, yang bertujuan untuk membernatas korupsi dan untuk menyeret pegawai pemerintah yang dituduh korupsi ke pengadilan. Badan ini memiliki perwakilan dari polisi, jaksa, dan hakim dari kementerian dalam negeri, Kejaksaan Agung dan pengadilan. Di mana tugasnya masing-masing adalah: Polisi harus mendeteksi korupsi, Jaksa membuat tuntutan dan Hakim menjatuhkan vonis. Peristiwa yang paling mengenaskan adalah pembunuhan terhadap dua orang pejabat ACJC di Afghanistan pada tahun 2017. Sejak berdirinya, ACJC telah menyeret sejumlah individu, termasuk pejabat pemerintah ke pengadilan.

DAFTAR PUSTAKA
Transparency International Indonesia. 2018. Upaya Melumpuhkan Badan Anti Korupsi Di Berbagai Belahan Dunia.

Thursday, May 2, 2019

pemberian hadiah dan korupsi


Pemberian hadiah kepada pegawai negeri yang disebabkan karena jabatan yang dimilikinya adalah korupsi, sebagaimana diatur dalam UU No 31 Tahun 1999 sebagai berikut:
Pasal 13 → Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.
Pasal ini mengatur mengenai penyuapan aktif berupa pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mempertimbangkan jabatan atau kedudukan yang dimiliki oleh pegawai negeri tersebut.
Terdapat dua kategori suap di dalam Pasal ini yaitu:
a.  Pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri karena si pemberi telah memahami kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang dimiliki oleh pegawai negeri tersebut.
b.  Pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri karena si pemberi beranggapan bahwa pegawai negeri memang memiliki kekuasaan atau wewenang tertentu karena jabatan yang dimiliki oleh pegawai negeri tersebut.
d.      Pegawai negeri yang menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatan yang dimilikinya adalah korupsi, sebagaimana diatur dalam UU No 20 Tahun 2001 sebagai berikut:
Pasal 11 UU Nomor 20 Tahun 2001 → Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatannya.
Pasal 11 merupakan penyuapan pasif. Dalam Pasal ini, dijelaskan bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah ataupun janji yang berkaitan dengan kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki berhubungan dengan jabatan yang dimiliki oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Dalam Pasal ini, subyek tindak pidana korupsi adalah para pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji karena kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang dimiliki oleh pegawai negeri tersebut atau karena si pemberi suap beranggapan bahwa jabatan yang dimiliki oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara dapat memenuhi harapan si pemberi suap tersebut.

Wednesday, May 1, 2019

Penyuapan (2)


Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima suap atau janji untuk diberikan sesuatu adalah tindak pidana korupsi. Hal ini juga diatur dalam UU No 20 Tahun 2001 sebagai berikut:
(1)    Pasal 5 ayat (2) → Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b dipidana dengan pidana yang sama.
Dalam Pasal 5 ayat 2 ini diatur mengenai penyuapan pasif, yaitu pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji dari orang lain agar dapat memenuhi keinginan pihak-pihak yang memberikan atau menjanjikan sesuatu.
Menurut Pasal ini, pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap melakukan tindak pidana korupsi apabila pegawai negeri atau penyelenggara negara diketahui menerima pemberian atau janji dari pihak lain agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara juga dianggap melakukan tindak pidana korupsi apabila menerima pemberian dari pihak lain karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya namun menguntungkan pemberi suap.
  (2)  Pasal 12 huruf a → Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pasal ini mengatur mengenai penyuapan pasif. Tindak pidana korupsi terhadap pegawai negeri atau penyelenggara yang berkaitan dengan Pasal 12 huruf a berlaku ketika diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara agar dapat mendorong pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Perlu diketahui bahwa agar dianggap sebagai tindak pidana korupsi sesuai Pasal ini, tidak perlu mempertimbangkan tindakan apa yang akan diambil oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara.
  (3)  Pasal 12 huruf b → Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pasal 12 huruf b membahas mengenai penyuapan pasif yaitu penyuapan berupa uang atau barang yang diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena diketahui atau patut diduga bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut telah melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kewajibannya.
Tindak pidana korupsi yang  diatur dalam Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 huruf b ini hampir sama dengan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 5 ayat 2, perbedaannya dalam Pasal 12 huruf a dan dalam Pasal 12 huruf b dicantumkan frasa “diketahui atau patut diduga”.
Frasa diketahui atau patut diduga yang terdapat dalam Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 huruf b mengandung arti bahwa:
·        Diketahui dengan pasti atau diperkirakan dengan akurat bahwa pegawai negeri atau penyelenggara memang menerima hadiah atau janji yang mempengaruhi mereka agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 12 huruf a).
 ·       Diketahui dengan pasti atau diperkirakan dengan akurat bahwa pegawai negeri atau penyelenggara memang menerima hadiah atau janji karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Kedua Pasal ini (Pasal 5 ayat 2 dengan Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 huruf b) dapat digunakan dalam melakukan penuntutan tindak pidana korupsi, aparat penegak hukum hanya harus memilih Pasal manakah yang akan digunakan.