Korupsi menjadi isu abadi, isu yang selalu menghantui Tanah Air.
Bahkan, sejak zaman Diponegoro (1785-1855) Masalah korupsi juga menjadi
pemicu utama Perang Jawa (1825-1830) meskipun tak pernah sekalipun
dibahas dalam buku-buku sejarah di sekolah. Selama hampir 200 tahun
sejak Pangeran Diponegoro menampar patih di hadapan para kerabat sultan di
Keraton Yogyakarta, isu korupsi dan bagaimana cara menghadapinya sampai dengan saat ini tidak banyak mengalami
perubahan.
Arus uang yang melimpah oleh kedatangan penyewa tanah
dari Eropa setelah Agustus 1816 di Pulau Jawa—berbarengan dengan
berakhirnya kekuasaan Raffles (1811-1816) dan Hindia Timur dikembalikan
kepada Belanda—membuka jalan bagi para pejabat pribumi bertindak korup. Korupsi terjadi
saat Indonesia tumbuh menjadi bangsa, mengalami jatuh bangun, dan masih
ada sampai sekarang.
Buku ini membawa
kita menilik kembali kompleksitas korupsi dengan mengurai budaya korupsi
di Indonesia dari zaman Daendels (1808-1811) sampai dengan masa reformasi.Buku ini juga memberi perbandingan sejarah
aktivitas korupsi dan cara pencegahannya di negeri-negeri Eropa,
terutama Inggris selama abad ke-18 ‘yang panjang’ (1660-1830). Melalui
buku ini, sejarawan Peter Carey bersama mantan wartawan Suhardiyoto
Haryadi membuktikan betapa seriusnya persoalan korupsi mengancam nasib
hidup bangsa dan negara. Sebab korupsi di berbagai negara mengakibatkan
hal yang sama yaitu menghancurkan sendi-sendi sebuah bangsa.
Sebuah Blog yang dapat memberikan pencerahan dan enlightenment tentang makna korupsi dan pemberantasannya
Search This Blog
Tuesday, May 7, 2019
Sunday, May 5, 2019
Teror terhadap KPK
Teror terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi berupa serangan balik para koruptor terhadap KPK semakin gencar terjadi. Serangan balik ke KPK beraneka ragam, mulai dari penyerangan dengan menggunakan air keras terhadap Novel Baswedan hingga penyerangan terhadap rumah para Komisoner KPK. Serangan balik terhadap KPK juga dapat berwujud serangan terhadap fungsi lembaga KPK itu sendiri.
Tujuan serangan balik para maling uang rakyat tersebut tentu jelas adalah untuk menakut-nakuti pimpinan dan pegawai KPK agar tidak melakukan aksi pemberantasan korupsi sebagaimana mestinya. Sejatinya, aksi kekerasan terhadap KPK merupakan sebuah bentuk perlawanan para koruptor terhadap negara, yang diwakili oleh institusi KPK.
Para koruptor yang melakukan serangan balik ke KPK, dalam bentuk apapun, pada dasarnya telah melanggar Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal ini, mereka telah dengan sengaja, mencegah, menghalang-halangi atau hendak menggagalkan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara korupsi. Perbuatan mereka telah menyebabkan terjadinya obstruction of justice dalam pengusutan kasus-kasus korupsi.
Transparency International Indonesia (2018) mendeskripsikan jenis-jenis pelemahan terhadap Badan Anti Korupsi di berbagai negara sebagai berikut:
HONGKONG
Pada tahun 1977 Independent Commission Against Corruption (ICAC), komisi anti korupsi di Hongkong,didemo oleh ribuan polisi setelah berhasil menangkap 247 tersangka korupsi dengan 143 orang di antaranya adalah polisi. ICAC adalah sebuah lembaga antikorupsi independen yang didirikan pada tahun 1974. Undang-undang Dasar Hong Kong menetapkan bahwa ICAC akan berfungsi secara independen dan bertanggung jawab langsung kepada Ketua Eksekutif Hong Kong. Sebelum pengalihan kedaulatan pada tahun 1997, ICAC melaporkan langsung ke Gubernur Hong Kong, dan penunjukan ke ICAC juga dilakukan langsung oleh kantornya. Setelah Peraturan Kolonial digantikan oleh Orde Layanan Publik setelah alih kuasa kedaulatan Hong Kong ke Cina pada tahun 1997.
KOREA SELATAN
Tahun 2008, Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak, yang berlatar belakang pengusaha, membubarkan Korea Independent Commission Against Corruption (KICAC). KICAC dianggap mengganggu hubungan pemerintah dan pengusaha. Komisioner KICAC, Kim Geo-sung, pun menjadi tersangka. KICAC sendiri didirikan pada tahun 2002 dan mempunyai kewenangan penuh dalam pencegahan dan penegakan hukum antikorupsi. Sebagai gantinya dibentuklah Anti-corruption and Civil Rights Commision (ACRC) yang merupakan gabungan antara KICAC, Ombudsman, dan Komisi Banding Administratif. Fungsi ACRC terbatas seputar perbaikan sistem pelayanan publik, serta hanya melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi dan administrasi.
MALAYSIA
Di Malaysia, pada tahun 2015, Najib Razak diduga terlibat dalam skandal 1MDB. Dari dugaan tersebut Najib melakukan sejumlah tindakan yang mengancam eksistensi pemberantasan korupsi di Malaysia. MACC menyelidiki temuan dan laporan terhadap skandal 1MDB. MACC adalah Malaysian Anti Corruption Commission yang didirikan pada tahun 2009 menggantikan Badan Pencegah Rasuah. PM Najib lantas melakukan tindakan kontraproduktif terhadap beberapa lembaga negara, termasuk MACC. Tindakan tersebut misalnya adalah pemecatan Jaksa Umum Abdul Gani Patail, pemimpin satuan tugas multilembaga yang menyelidiki klaim penyelewengan dana yang melibatkan Najib dan 1MDB. Mantan Pimpinan MACC, Shukri Abdull, juga mengalami teror dan intimidasi saat mengusut skandal 1MDB.
THAILAND
Di Thailand, Undang-Undang Anti-Korupsi diumumkan pada 1975 dan mengizinkan pembentukan Office of the Commission of Counter Corruption (OCCC), pada praktiknya, OCCC diberi sedikit kekuasaan untuk memerangi korupsi. Hingga pada tahun 2008 dibentuklah NACC, National on Anti Corruption Commission. NACC berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penuntutan aksus korupsi, termasuk didalamnya adalah pencegahan korupsi. Pada tahun 2017, Thailand merilis Undang-undang baru yang mengatur NACC menetapkan bahwa lembaga tersebut hanya boleh mempublikasikan ringkasan daftar aset dan kewajiban pemegang jabatan politik, termasuk anggota Kabinet dan hakim Mahkamah Konstitusi.
Praktek ini telah diperkecil dari undang-undang sebelumnya, yang menuntut NACC diperbolehkan mengumum kandaftar secara lengkap kepada publik dan juga media sehingga mereka juga dapat berpartisipasi dalam mengawasi pemerintah mereka. Dan sebagai catatan, sejumlah politisi telah diteliti oleh publik melalui cara ini. Politisi veteran mendiang Maj-General Sanan Kachornprasart adalah salah satunya. Dia dikeluarkan dari jabatan menteri dalam negeri dan dilarang politik selama lima tahun karena membuat deklarasi aset palsu.
AFGHANISTAN
Untuk memerangi korupsi di Pakistan, Pemerintah Presiden Mohammad Ashraf Ghani membentuk Anti-Corruption Criminal Justice Centre Afghanistan (ACJC) pada 30 Juni 2016, yang bertujuan untuk membernatas korupsi dan untuk menyeret pegawai pemerintah yang dituduh korupsi ke pengadilan. Badan ini memiliki perwakilan dari polisi, jaksa, dan hakim dari kementerian dalam negeri, Kejaksaan Agung dan pengadilan. Di mana tugasnya masing-masing adalah: Polisi harus mendeteksi korupsi, Jaksa membuat tuntutan dan Hakim menjatuhkan vonis. Peristiwa yang paling mengenaskan adalah pembunuhan terhadap dua orang pejabat ACJC di Afghanistan pada tahun 2017. Sejak berdirinya, ACJC telah menyeret sejumlah individu, termasuk pejabat pemerintah ke pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Transparency International Indonesia. 2018. Upaya Melumpuhkan Badan Anti Korupsi Di Berbagai Belahan Dunia.
Tujuan serangan balik para maling uang rakyat tersebut tentu jelas adalah untuk menakut-nakuti pimpinan dan pegawai KPK agar tidak melakukan aksi pemberantasan korupsi sebagaimana mestinya. Sejatinya, aksi kekerasan terhadap KPK merupakan sebuah bentuk perlawanan para koruptor terhadap negara, yang diwakili oleh institusi KPK.
Para koruptor yang melakukan serangan balik ke KPK, dalam bentuk apapun, pada dasarnya telah melanggar Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal ini, mereka telah dengan sengaja, mencegah, menghalang-halangi atau hendak menggagalkan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara korupsi. Perbuatan mereka telah menyebabkan terjadinya obstruction of justice dalam pengusutan kasus-kasus korupsi.
Transparency International Indonesia (2018) mendeskripsikan jenis-jenis pelemahan terhadap Badan Anti Korupsi di berbagai negara sebagai berikut:
HONGKONG
Pada tahun 1977 Independent Commission Against Corruption (ICAC), komisi anti korupsi di Hongkong,didemo oleh ribuan polisi setelah berhasil menangkap 247 tersangka korupsi dengan 143 orang di antaranya adalah polisi. ICAC adalah sebuah lembaga antikorupsi independen yang didirikan pada tahun 1974. Undang-undang Dasar Hong Kong menetapkan bahwa ICAC akan berfungsi secara independen dan bertanggung jawab langsung kepada Ketua Eksekutif Hong Kong. Sebelum pengalihan kedaulatan pada tahun 1997, ICAC melaporkan langsung ke Gubernur Hong Kong, dan penunjukan ke ICAC juga dilakukan langsung oleh kantornya. Setelah Peraturan Kolonial digantikan oleh Orde Layanan Publik setelah alih kuasa kedaulatan Hong Kong ke Cina pada tahun 1997.
KOREA SELATAN
Tahun 2008, Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak, yang berlatar belakang pengusaha, membubarkan Korea Independent Commission Against Corruption (KICAC). KICAC dianggap mengganggu hubungan pemerintah dan pengusaha. Komisioner KICAC, Kim Geo-sung, pun menjadi tersangka. KICAC sendiri didirikan pada tahun 2002 dan mempunyai kewenangan penuh dalam pencegahan dan penegakan hukum antikorupsi. Sebagai gantinya dibentuklah Anti-corruption and Civil Rights Commision (ACRC) yang merupakan gabungan antara KICAC, Ombudsman, dan Komisi Banding Administratif. Fungsi ACRC terbatas seputar perbaikan sistem pelayanan publik, serta hanya melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi dan administrasi.
MALAYSIA
Di Malaysia, pada tahun 2015, Najib Razak diduga terlibat dalam skandal 1MDB. Dari dugaan tersebut Najib melakukan sejumlah tindakan yang mengancam eksistensi pemberantasan korupsi di Malaysia. MACC menyelidiki temuan dan laporan terhadap skandal 1MDB. MACC adalah Malaysian Anti Corruption Commission yang didirikan pada tahun 2009 menggantikan Badan Pencegah Rasuah. PM Najib lantas melakukan tindakan kontraproduktif terhadap beberapa lembaga negara, termasuk MACC. Tindakan tersebut misalnya adalah pemecatan Jaksa Umum Abdul Gani Patail, pemimpin satuan tugas multilembaga yang menyelidiki klaim penyelewengan dana yang melibatkan Najib dan 1MDB. Mantan Pimpinan MACC, Shukri Abdull, juga mengalami teror dan intimidasi saat mengusut skandal 1MDB.
THAILAND
Di Thailand, Undang-Undang Anti-Korupsi diumumkan pada 1975 dan mengizinkan pembentukan Office of the Commission of Counter Corruption (OCCC), pada praktiknya, OCCC diberi sedikit kekuasaan untuk memerangi korupsi. Hingga pada tahun 2008 dibentuklah NACC, National on Anti Corruption Commission. NACC berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penuntutan aksus korupsi, termasuk didalamnya adalah pencegahan korupsi. Pada tahun 2017, Thailand merilis Undang-undang baru yang mengatur NACC menetapkan bahwa lembaga tersebut hanya boleh mempublikasikan ringkasan daftar aset dan kewajiban pemegang jabatan politik, termasuk anggota Kabinet dan hakim Mahkamah Konstitusi.
Praktek ini telah diperkecil dari undang-undang sebelumnya, yang menuntut NACC diperbolehkan mengumum kandaftar secara lengkap kepada publik dan juga media sehingga mereka juga dapat berpartisipasi dalam mengawasi pemerintah mereka. Dan sebagai catatan, sejumlah politisi telah diteliti oleh publik melalui cara ini. Politisi veteran mendiang Maj-General Sanan Kachornprasart adalah salah satunya. Dia dikeluarkan dari jabatan menteri dalam negeri dan dilarang politik selama lima tahun karena membuat deklarasi aset palsu.
AFGHANISTAN
Untuk memerangi korupsi di Pakistan, Pemerintah Presiden Mohammad Ashraf Ghani membentuk Anti-Corruption Criminal Justice Centre Afghanistan (ACJC) pada 30 Juni 2016, yang bertujuan untuk membernatas korupsi dan untuk menyeret pegawai pemerintah yang dituduh korupsi ke pengadilan. Badan ini memiliki perwakilan dari polisi, jaksa, dan hakim dari kementerian dalam negeri, Kejaksaan Agung dan pengadilan. Di mana tugasnya masing-masing adalah: Polisi harus mendeteksi korupsi, Jaksa membuat tuntutan dan Hakim menjatuhkan vonis. Peristiwa yang paling mengenaskan adalah pembunuhan terhadap dua orang pejabat ACJC di Afghanistan pada tahun 2017. Sejak berdirinya, ACJC telah menyeret sejumlah individu, termasuk pejabat pemerintah ke pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Transparency International Indonesia. 2018. Upaya Melumpuhkan Badan Anti Korupsi Di Berbagai Belahan Dunia.
Thursday, May 2, 2019
pemberian hadiah dan korupsi
Pemberian hadiah kepada pegawai negeri yang disebabkan karena jabatan
yang dimilikinya adalah korupsi, sebagaimana diatur dalam UU No 31
Tahun 1999 sebagai berikut:
Pasal 13 → Setiap orang yang memberi hadiah
atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau
wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah
atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.
Pasal ini mengatur mengenai penyuapan aktif berupa pemberian
hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mempertimbangkan jabatan
atau kedudukan yang dimiliki oleh pegawai negeri tersebut.
Terdapat dua kategori suap di dalam Pasal ini
yaitu:
a. Pemberian
hadiah atau janji kepada pegawai negeri karena si pemberi telah memahami
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang
dimiliki oleh pegawai negeri tersebut.
b. Pemberian
hadiah atau janji kepada pegawai negeri karena si pemberi beranggapan
bahwa pegawai negeri memang memiliki kekuasaan atau wewenang tertentu
karena jabatan yang dimiliki oleh pegawai negeri tersebut.
d. Pegawai negeri yang menerima
hadiah yang berhubungan dengan jabatan yang dimilikinya adalah korupsi,
sebagaimana diatur dalam UU No 20 Tahun 2001 sebagai berikut:
Pasal 11 UU Nomor 20
Tahun 2001 → Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau
janji, padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya,
atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada
hubungannya dengan jabatannya.
Pasal 11 merupakan penyuapan pasif. Dalam
Pasal ini, dijelaskan bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah ataupun janji yang berkaitan dengan kekuasaan atau
kewenangan yang dimiliki berhubungan dengan jabatan yang dimiliki oleh pegawai
negeri atau penyelenggara negara.
Dalam Pasal ini, subyek tindak pidana korupsi
adalah para pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau
janji karena kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan
atau kedudukan yang dimiliki oleh pegawai negeri tersebut atau karena si
pemberi suap beranggapan bahwa jabatan yang dimiliki oleh pegawai negeri atau
penyelenggara negara dapat memenuhi harapan si pemberi suap tersebut.
Wednesday, May 1, 2019
Penyuapan (2)
Pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima suap atau janji untuk diberikan sesuatu adalah tindak
pidana korupsi. Hal
ini juga diatur dalam UU No 20 Tahun 2001 sebagai berikut:
(1) Pasal 5 ayat (2) → Bagi pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b dipidana dengan
pidana yang sama.
Dalam Pasal 5 ayat 2 ini diatur mengenai penyuapan
pasif, yaitu pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima pemberian atau janji dari orang lain agar dapat memenuhi
keinginan pihak-pihak yang memberikan atau menjanjikan sesuatu.
Menurut Pasal ini, pegawai negeri atau
penyelenggara negara dianggap melakukan tindak pidana korupsi apabila pegawai negeri atau penyelenggara negara diketahui menerima pemberian atau janji dari pihak lain agar melakukan atau
tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara juga
dianggap melakukan tindak pidana korupsi apabila menerima pemberian dari pihak
lain karena
telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajibannya namun menguntungkan pemberi suap.
(2) Pasal
12 huruf a → Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau
janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pasal ini mengatur mengenai penyuapan pasif.
Tindak pidana korupsi terhadap pegawai negeri atau penyelenggara yang berkaitan
dengan Pasal 12 huruf a berlaku ketika diketahui atau patut diduga bahwa hadiah
atau janji tersebut diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara agar
dapat mendorong pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Perlu diketahui
bahwa agar dianggap sebagai tindak pidana korupsi sesuai Pasal ini, tidak perlu
mempertimbangkan tindakan apa yang akan diambil oleh pegawai negeri atau
penyelenggara negara.
(3) Pasal
12 huruf b → Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai
akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pasal 12 huruf b membahas mengenai penyuapan
pasif yaitu penyuapan berupa uang atau barang yang diberikan kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara karena diketahui atau patut diduga
bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut telah melakukan sesuatu
atau tidak
melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kewajibannya.
Tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 12 huruf a dan Pasal 12
huruf b ini hampir sama dengan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 5
ayat 2, perbedaannya dalam Pasal 12 huruf a dan dalam Pasal 12 huruf b
dicantumkan frasa “diketahui atau patut diduga”.
Frasa diketahui atau patut diduga yang terdapat dalam
Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 huruf b mengandung arti bahwa:
· Diketahui dengan pasti atau diperkirakan
dengan akurat bahwa pegawai negeri atau penyelenggara memang menerima hadiah
atau janji yang mempengaruhi mereka agar melakukan atau tidak melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 12 huruf a).
· Diketahui dengan pasti
atau diperkirakan dengan akurat bahwa pegawai negeri atau penyelenggara memang
menerima hadiah atau janji karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Kedua Pasal ini (Pasal 5 ayat 2 dengan Pasal 12
huruf a dan Pasal 12 huruf b) dapat digunakan dalam melakukan penuntutan tindak
pidana korupsi, aparat penegak hukum hanya harus memilih Pasal manakah yang akan digunakan.
Subscribe to:
Posts (Atom)